Hallo, Selamat Datang!

HMTL UII

Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia Salam Lestari

Wednesday, November 16, 2022

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Akses Sanitasi Layak adalah Hak Asasi

 Akses Sanitasi Layak adalah Hak Asasi

(Pranoto, Teknik Lingkungan 2019)

    Air bersih dan sanitasi yang layak merupakan kebutuhan dasar yang harus terpenuhi bagi setiap individu. Menurut World Health Organization (WHO), sanitasi didefinisikan sebagai usaha untuk mengawasi beberapa faktor lingkungan fisik yang berpengaruh kepada manusia, terutama terhadap hal-hal yang memberi efek, seperti merusak perkembangan fisik, kesehatan, dan kelangsungan hidup.

    Maka jika diuraikan secara sederhana, akses sanitasi dapat diartikan sebagai akses terhadap air bersih dan membuang tinja dengan aman. Namun, di Indonesia belum seluruh rumah tangga telah mendapatkan akses terhadap kebutuhan dasar tersebut.

    Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), capaian sanitasi layak per tahun 2021 mencapai 80,29 persen. Artinya, masih terdapat 19,71 persen rumah tangga di Indonesia yang belum memiliki akses sanitasi layak.

    Dalam ranah global, perilaku buang air besar sembarangan (BABS) Indonesia berada di urutan tertinggi ketiga setelah Kamboja (19,30%) dan India (14,90%). Sedang akses sanitasi aman berada di urutan empat terbawah bersama Kamboja, Vietnam, dan Afrika Selatan.

    Belum tercapainya akses sanitasi aman bagi setiap keluarga bukan tanpa dampak. Hal tersebut memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan, terutama kesehatan anak-anak. Salah satu penyakit paling menonjol dari buruknya akses sanitasi adalah diare hingga stunting.

    Menurut catatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), diare menjadi penyebab utama kematian pada balita (usia 12-59 bulan) di Indonesia pada tahun 2019. Angkanya mencapai 314 kematian. Lalu pada tahun 2021 tercatat sebanyak 24,4 persen balita di Indonesia mengalami stunting. Nusa Tenggara Timur terdaftar sebagai daerah dengan angka stunting tertinggi yaitu sebesar 37,8 persen. Di provinsi tersebut, akses sanitasi layaknya baru 73,36 persen. Menjadi salah satu provinsi di urutan lima terbawah.

    Memastikan air bersih dan sanitasi layak pun sebetulnya menjadi salah satu poin dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs) pada sektor lingkungan hidup. Sanitasi yang dikelola dengan aman diakui sebagai prioritas utamanya dalam meningkatkan kesehatan, gizi, dan produktivitas masyarakat.

    Metadata Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG) 2030 membagi konsep dan definisi akses sanitasi menjadi lima tingkatan.

    Pertama, akses aman. Didefinisikan jika jamban adalah milik sendiri dengan leher angsa yang terhubung ke Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik (IPALD) atau menggunakan tangki septik yang disedot setidaknya 1 kali dalam 3-5 tahun dan dibuang ke Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT).

    Kedua, akses layak sendiri (individu). Didefinisikan jamban dengan kloset leher angsa yang dimiliki sendiri (tidak bersama rumah tangga lain) dengan pembuangan ke (1) Tangki septik dengan penyedotan minimal satu kali dalam lima tahun; (2) Lubang tanah atau cubluk (khusus pedesaan).

    Ketiga, akses layak bersama. Kategori ini mengkhususkan jamban dengan kloset leher angsa digunakan bersama rumah tangga tertentu yang (1) Terhubung ke IPALD; (2) Menggunakan tangki septik; atau (3) Lubang tanah/cubluk (khusus perdesaan). MCK secara komunal dapat dikatakan sebagai akses layak bersama.

    Keempat, akses belum layak. Yakni masih dilakukannya perilaku BABS tertutup. Maksudnya, keluarga tersebut telah memiliki jamban namun dibuang ke sungai, ladang, atau area terbuka lainnya.

    Lalu yang kelima atau terakhir adalah BABS di tempat terbuka. Per 2020, di Indonesia perilaku ini mencapai 6,19 persen dari total populasi. Menurut Badan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) belum ada daerah di Indonesia yang menyatakan bebas dari BABS.

    Dari kelima klasifikasi di atas, menurut data BAPPENAS per tahun 2020, akses layak sendiri menjadi yang paling banyak di Indonesia dengan angka mencapai 64,7 persen. Disusul akses belum layak dengan angka mencapai 14,28 persen. Lalu posisi ketiga dihuni akses aman dengan angka 7,64 persen. Disusul akses layak bersama dengan 7,15 persen. Dan paling sedikit adalah BABS di tempat terbuka dengan angka 6,19 persen.

    Banyaknya akses sanitasi yang buruk di Indonesia tidak lepas dari kondisi ketimpangan sosial-ekonomi masyarakatnya. Masyarakat dengan tingkat ekonomi paling rendah memiliki akses sanitasi yang masih jauh tertinggal. Artinya, dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan seperti yang tertulis di atas jangan sampai meninggalkan aspek pengentasan kemiskinan.

    Air dan sanitasi merupakan bagian fundamental bagi setiap manusia–tanpa terkecuali–untuk bertahan hidup dan menjaga kesehatannya. Karenanya, hal tersebut juga harus dipandang sebagai elemen utama dalam pemenuhan hak kepada standar hidup yang layak serta hak atas kesehatan. Singkatnya, akses air bersih dan sanitasi layak adalah hak asasi bagi setiap manusia.

    Menilik pentingnya akses sanitasi yang layak tak heran jika Mahatma Gandhi, salah satu tokoh revolusioner asal India, sampai mengatakan bahwa "Sanitasi lebih penting daripada kemerdekaan," dikutip dari National Geographic.



0 komen:

Gedung FTSP UII, Jln. Kaliurang KM 14, Sleman, Yogyakarta
082280705508 (INFOKOM)
081806698002 (HUBLU)

SEND US A MESSAGE