Hallo, Selamat Datang!

HMTL UII

Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia Salam Lestari

Hello

KamiHMTL UII

Selamat datang di website Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia. Website ini dibuat sebagai media informasi dan komunikasi untuk mahasiswa serta masyarakat. Disini anda dapat mengenal lebih dekat tentang profil, program kerja, dan kegiatan Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia

Pengurus Inti

  • Yusuf Hindrawan

    Ketua Umum HMTL UII

  • Zidan Nabil

    Wakil Ketua Internal

  • Fitriani Nuraisyah

    Sekretaris I

  • Usman Bayu Sajiwo

    Wakil Ketua Eksternal

  • Aiko Sarasvaty Prabowo

    Bendahara I

  • Dwita Sari Fathina

    Sekretaris II

  • Aning Sekar Wiguna

    Bendahara II

departemen

  • Dalam Negeri

    More

  • Hubungan Luar

    More

  • Informasi & Komunikasi

    More

  • Kewirausahaan

    More

  • Minat Bakat

    More

  • Pengabdian Masyarakat

    More

  • Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa

    More

  • Keilmuan

    More

MATRIKS HMTL SEPTEMBER 2022

Latest Post

Memaknai Konservasi Alam dalam Islam sebagai Intervensi Kerusakan Lingkungan Hidup

 Memaknai Konservasi Alam dalam Islam sebagai Intervensi Kerusakan Lingkungan Hidup

(Zain Nabil Haiqal, Teknik Lingkungan 2019)

    Pemeliharaan lingkungan hidup sudah sejatinya dilakukan secara kolektif oleh umat manusia di seluruh Bumi. Menjadi tugas dan sebuah kewajiban yang sama pentingnya seperti melakukan ibadah. Allah telah menggariskan takdir bagi manusia dalam firmannya yang berupa amanat untuk melestarikan alam dan lingkungan pada QS. Al-Araaf: 56 yang berbunyi:

Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya.’’

    Amanat yang diberikan kepada manusia yang sudah seharusnya ditunaikan dan dilaksanakan. Akan tetapi beberapa manusia menolak dan tampak sengaja berbuat kerusakaan di atas muka bumi. Kerusakan di muka bumi dan segala isinya memang tidak sepenuhnya dilakukan oleh seluruh umat manusia. Namun dilakukan oleh segelintir manusia yang menjadi begitu rakus melakukan ekstraksi tanpa henti dan juga melakukan mitigasi atas timbulan kerusakan yang terjadi akibatnya. Sedangkan penataan ekosistem dan perilaku manusia sejatinya harus dilandasi oleh empat pilar penting yang sudah diajarkan dalam ajaran Islam, yakni: tahuid, khilafah, istishlah, & halal haram.

    Memahami tahuid sama saja memberikan penghargaan setinggi-tingginya pada mahluk-maluk hidup yang diciptakanNya. Dengan begitu manusia akan sadar tentang tanggung jawab dan tanggungan untuk memelihara lingkungan. Menyadari akan keanekaragaman hayati yang hidup sama saja melakukan tolerasi dan suka cita dalam menunaikan ajaranNya. Seperti garis ajar yang telah ditetapkan oleh sang pencipta. Selain itu memaknai Khilafah adalah salah satu sarana strategis pendukung dalam memelihara lingkungan hidup. Khilafah secara singkat harus dimaknai mempunyai sifat adil-seadilnya. Ketika manusia menjadi adil, maka ia akan enggan merusak lingkungan hidup maupun ekosistem di dalamnya. Termasuk dalam perilaku, perbuatan, serta penegakan hukum dalam penataan sumber daya alam. Ada juga Istishlah, mungkin anak muda saat ini sangat asing dengan kalimat ini, namun tidak menjadi masalah jika ia yang muda mau memahami dan belajar. Istishlah merupakan suatu sikap yang mementingkan kemaslahatan umat. Atau kepentingan bersama. Dalam konteksnya, memelihara lingkungan hidup, dalam pengertian Istishlah menjadi gawai penting dalam dasar melakukan pemeliharan lingkungan hidup. Pondasi penting bagi anak muda yang mengharapkan perubahan mutlak pada penyelamatan lingkungan hidup. Sudah sejatinya memaknai lingkungan hidup bukan hanya untuk
kita saja, manusia, namun untuk kebersamaan, seluruh mahluk hidup yang tinggal. Sehingga perbuatan manusia akan terlandasi untuk tidak bertindak lebih jauh atau berlebih-lebihan dalam memandang ekologi maupun sumber daya alam. Serta yang terakhir berupa Halal Haram, dimana kita memandang item item hukum dan tata ajaran islam dalam memandang ekologi dapat mengendalikan perilaku manusia agar tidak merusak tatanan ekologi juga tata berkehidupan bermasyarakat.

    Kita mengetahui bahwa kerusakan alam saat ini dari waktu ke waktu semakin bertambah parah. Kelalaian-kelalaian juga dominasi-dominasi segelintir manusia yang mempunyai wewenang dalam urusan pengelolaan dan juga tata ruang lingkungan hidup menjadi begitu tidak beraturan. Saling berbenturan satu dengan lainnya sehingga menghancurkan harmoni primordial yang seharusnya tumbuh secara alami dalam hati dan jiwa manusia. Kita juga telah menyaksikan Indonesia dalam beberapa dekade terakhir mengantungkan hidup dan roda perekonomian pada kesuburan sumber daya alamnya. Batu bara, minyak bumi, tembaga, emas, timah, dan tanah yang subur menjadi begitu candu dalam mengerakan roda perekonomian. Ketergantungan pada proses ekstraksi sumber daya alam ini menjadi trend ekonomi hingga saat ini, meskipun menguntungkan pada prosesnya namun ada kerugian ekologis yang kian tak ternilai harganya dan tidak sebanding dengan keuntungannya. Ketergantungan ini menyisakan lobang-lobang raksasa, lahan yang mati, pencemaran tanah, pencemaran udara, pencemaran laut, kenaikan suhu, penuran permukaan tanah bahkan pencemaran mikroskopis yang berdampak bagi masyarakat maupun satwa- satwa endemik berupa kepunahan massal yang menanti.

    Pemulihan ekosistem dan kondisi bumi yang telah rusak sangat memerlukan waktu dan biaya yang cukup besar. Bahkan tidak ternilai. Satu saja kesalahan dalam pengolahan lingkungan hidup akan menjadi bencana bersama dimasa mendatang. Kami setuju bila kerusakan terjadi saat ini adalah sebab-akibat dari masalah yang ditinggalkan oleh generasi terdahulu. Bukan untuk menyalahkan namun sejatinya bencana lingkungan akibat kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi adalah keputusan yang harus ditempuh suatu generasi dalam mengambil keputusan mengunakan sumber daya alam secara tidak matang. Sebagai contoh, jika ekosistem hutan telah ditebang habis dalam skala besar dan luas, maka tempat lainnya harus dicadangkan sebagai ekosistem yang masih utuh. Ekosistem yang dicadangkan itu- sejatinya terpilih menjadi ekosistem yang lokasinya tidak jauh dari ekosistem yang rusak. Namun jika terus berpikir bahwa ada ekosistem yang bisa dimanfaatkan, ada ekosistem yang bisa dicadangkan dalam melangsungkan proses ekstraksi ekosistem maka akan timbul efek domino sangat panjang dan tidak dapat dibendung. Inilah kerusakan ekosistem yang terjadi saat ini, ekosistem domino, dimana kawasan- kawasan penting yang seharusnya tidak dapat diekspolitasi maka dengan dalih ekonomi ekosistem tersebut mengalami penurunan status. Ekosistem sporadis sebagai pasokan lami nutrisi, spora, dan biji-bijian yang ditebarkan dengan bantuan angin, serangga, primata, burung, maupun masyarakat adat sebagai penebarnya. Kondisi seperti ini diharapan dapat bekerja secara organik dan mendapat dukungan dari tatanan tertinggi masyarakat yakni pemerintah. Cara ini juga dapat menjadi penawar dari suksesi secara ilmiah dalam menetralisir kebali kerusakan pada ekosistem. Cara yang mudah dan murah namun perlu kerja keras dalam eksekusinya.

    Namun sebaliknya, jika pembabatan ekosistem hutan dilakukan secara merata dan terorganisir dalam kapasistas diluar kemampuan ekosistem melakukan pemulihan secara alamiah maka akan terjadi transisi dimana ekosistem akan berubah total. Ekspolitasi secara maskulin dan kasar ini akan menyebabkan lahan-lahan kawasan hutan menjadi tidak produktif dan subur. Bahkan mati. Dalam islam, sosialisasi atau dakwah menjadi senjata termutakhir penyemalatan lingkungan hidup. Penegakan upaya konservasi alam harus dilakukan dari masjid ke masjid, jama’at ke jama’at, sekolah ke sekolah, hingga majelis ke majelis. Sebab sosialisasi/dakwah merupakan sarana bagian dari ibadah keseluruhan hidup. Al-Quran sebagai pedoman mengajarkan untuk memuliakan dan memelihara alam tanpa terkecuali. Jika memaknai Al-Quran sebagai syariat yang tidak hanya dipahami oleh praktisi hukum namun didasari sebagai landasan dan juga pedoman hidup manusia. Karena itulah terkadang kita melupakan ajaran-ajaran dan pedoman syariat dari dalam Al-quran dalam menjaga alam. Ketika syariat islam telah terpinggirkan, maka hukum dan juga pelaksanaannya menjadi kiat tak populer. Khususnya dalam anak muda. Di lain pihak, apabila umat Islam menyadari, bahwa saat ini peraturan peraturan sekuler yang berkembang telah menggunakan analogi Islam berupa green label sebagai pendekatan masyarakat berupa pada prodak-prodak ramah lingkungan. Praktik masyarakat juga diperlukan dalam menjalankan roda ekosistem dengan menjauhi apa yang dilarang syariat yang nantinya akan mempengaruhi fungsi dari pemeliharaan dan perawatan ekosistem yang ada di Bumi.

    Kita harus meyakini bahwa dalam suatu ekosistem yang harmonis terdapat kehidupan liar dan interaksi yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) dan hubungan yang merugikan (parasitisme) serta hubungan yang diuntungkan berupa ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan (komensalisme). Semua hubungan timbal malik merupakan cerminan dari harmonisme alam untuk menjaga keseimbangan hidup. Lantas pilihlah untuk saat ini, sebelum terlambat, apakah hubunganmu dengan alam berupa simbiosis-mutual, parasitisme, atau komensialisme. Sebelum semua terlambat. Karena jika suatu saat jika ekosistem tidak lagi dapat diandalkan, maka cara yang bisa dilakukan ialah migrasi. Berpindah tempat dari tempat rusak ke tempat yang lebih baik. Namun pertanyaannya, apakah masih ada?

Akses Sanitasi Layak adalah Hak Asasi

 Akses Sanitasi Layak adalah Hak Asasi

(Pranoto, Teknik Lingkungan 2019)

    Air bersih dan sanitasi yang layak merupakan kebutuhan dasar yang harus terpenuhi bagi setiap individu. Menurut World Health Organization (WHO), sanitasi didefinisikan sebagai usaha untuk mengawasi beberapa faktor lingkungan fisik yang berpengaruh kepada manusia, terutama terhadap hal-hal yang memberi efek, seperti merusak perkembangan fisik, kesehatan, dan kelangsungan hidup.

    Maka jika diuraikan secara sederhana, akses sanitasi dapat diartikan sebagai akses terhadap air bersih dan membuang tinja dengan aman. Namun, di Indonesia belum seluruh rumah tangga telah mendapatkan akses terhadap kebutuhan dasar tersebut.

    Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), capaian sanitasi layak per tahun 2021 mencapai 80,29 persen. Artinya, masih terdapat 19,71 persen rumah tangga di Indonesia yang belum memiliki akses sanitasi layak.

    Dalam ranah global, perilaku buang air besar sembarangan (BABS) Indonesia berada di urutan tertinggi ketiga setelah Kamboja (19,30%) dan India (14,90%). Sedang akses sanitasi aman berada di urutan empat terbawah bersama Kamboja, Vietnam, dan Afrika Selatan.

    Belum tercapainya akses sanitasi aman bagi setiap keluarga bukan tanpa dampak. Hal tersebut memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan, terutama kesehatan anak-anak. Salah satu penyakit paling menonjol dari buruknya akses sanitasi adalah diare hingga stunting.

    Menurut catatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), diare menjadi penyebab utama kematian pada balita (usia 12-59 bulan) di Indonesia pada tahun 2019. Angkanya mencapai 314 kematian. Lalu pada tahun 2021 tercatat sebanyak 24,4 persen balita di Indonesia mengalami stunting. Nusa Tenggara Timur terdaftar sebagai daerah dengan angka stunting tertinggi yaitu sebesar 37,8 persen. Di provinsi tersebut, akses sanitasi layaknya baru 73,36 persen. Menjadi salah satu provinsi di urutan lima terbawah.

    Memastikan air bersih dan sanitasi layak pun sebetulnya menjadi salah satu poin dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs) pada sektor lingkungan hidup. Sanitasi yang dikelola dengan aman diakui sebagai prioritas utamanya dalam meningkatkan kesehatan, gizi, dan produktivitas masyarakat.

    Metadata Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG) 2030 membagi konsep dan definisi akses sanitasi menjadi lima tingkatan.

    Pertama, akses aman. Didefinisikan jika jamban adalah milik sendiri dengan leher angsa yang terhubung ke Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik (IPALD) atau menggunakan tangki septik yang disedot setidaknya 1 kali dalam 3-5 tahun dan dibuang ke Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT).

    Kedua, akses layak sendiri (individu). Didefinisikan jamban dengan kloset leher angsa yang dimiliki sendiri (tidak bersama rumah tangga lain) dengan pembuangan ke (1) Tangki septik dengan penyedotan minimal satu kali dalam lima tahun; (2) Lubang tanah atau cubluk (khusus pedesaan).

    Ketiga, akses layak bersama. Kategori ini mengkhususkan jamban dengan kloset leher angsa digunakan bersama rumah tangga tertentu yang (1) Terhubung ke IPALD; (2) Menggunakan tangki septik; atau (3) Lubang tanah/cubluk (khusus perdesaan). MCK secara komunal dapat dikatakan sebagai akses layak bersama.

    Keempat, akses belum layak. Yakni masih dilakukannya perilaku BABS tertutup. Maksudnya, keluarga tersebut telah memiliki jamban namun dibuang ke sungai, ladang, atau area terbuka lainnya.

    Lalu yang kelima atau terakhir adalah BABS di tempat terbuka. Per 2020, di Indonesia perilaku ini mencapai 6,19 persen dari total populasi. Menurut Badan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) belum ada daerah di Indonesia yang menyatakan bebas dari BABS.

    Dari kelima klasifikasi di atas, menurut data BAPPENAS per tahun 2020, akses layak sendiri menjadi yang paling banyak di Indonesia dengan angka mencapai 64,7 persen. Disusul akses belum layak dengan angka mencapai 14,28 persen. Lalu posisi ketiga dihuni akses aman dengan angka 7,64 persen. Disusul akses layak bersama dengan 7,15 persen. Dan paling sedikit adalah BABS di tempat terbuka dengan angka 6,19 persen.

    Banyaknya akses sanitasi yang buruk di Indonesia tidak lepas dari kondisi ketimpangan sosial-ekonomi masyarakatnya. Masyarakat dengan tingkat ekonomi paling rendah memiliki akses sanitasi yang masih jauh tertinggal. Artinya, dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan seperti yang tertulis di atas jangan sampai meninggalkan aspek pengentasan kemiskinan.

    Air dan sanitasi merupakan bagian fundamental bagi setiap manusia–tanpa terkecuali–untuk bertahan hidup dan menjaga kesehatannya. Karenanya, hal tersebut juga harus dipandang sebagai elemen utama dalam pemenuhan hak kepada standar hidup yang layak serta hak atas kesehatan. Singkatnya, akses air bersih dan sanitasi layak adalah hak asasi bagi setiap manusia.

    Menilik pentingnya akses sanitasi yang layak tak heran jika Mahatma Gandhi, salah satu tokoh revolusioner asal India, sampai mengatakan bahwa "Sanitasi lebih penting daripada kemerdekaan," dikutip dari National Geographic.



Fotografi Presented By UKM Media Enviro FTSP UII


SERENITY














Oleh:
Alif Fathi Ramadhan (TL 20)
Aqshal Faturrachman Buamona Putra (TL 20)
Muhammad Rafli Firdaus (TL 20)


Gedung FTSP UII, Jln. Kaliurang KM 14, Sleman, Yogyakarta
082280705508 (INFOKOM)
081806698002 (HUBLU)

SEND US A MESSAGE