Perspektif: Memahami Konsep Pembangunan dalam Islam
|
Pembangunan masih
menjadi tema yang tak habis dibicarakan terutama di akhir-akhir ini. Banyak
yang mempermasalahkan pembangunan yang ada, mulai dari tujuan hingga
dampak-dampak yang ditimbulkan di kemudian hari. Hingga muncul gagasan konsep
pembangunan berkelanjutan, namun masih menjadi perdebatan yang ‘kebetulan’ juga
berkelanjutan.
Dalam
mengkaji permasalahan ini, harus kita telusuri dan cari tahu bersama apa itu
konsep, prinsip dan cabang untuk mencapai suatu kesepahaman dalam berpikir. Dalam
"The classical theory of concepts" Aristoteles menyatakan bahwa
konsep merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan
filsafat pemikiran manusia. Secara sederhana konsep merupakan sebuah abstraksi,
yang merupakan suatu ide yang dibangun dari dasar pengetahuan dengan berbagai
macam karakteristik.
Sedang
dalam Islam prinsip dan cabang merupakan hal yang berkaitan dan penting, dimana
prinsip didefinisikan sebagai suatu hukum yang pokok atau esensi yang bersifat
universal dan berasal dari hukum-hukum dasar. Sedangkan cabang merupakan suatu
tindak lanjut dari prinsip yang sudah ada. Dalam pengertian tersebut dapat
dikatakan bahwa cabang bersifat lebih elastis dan dapat dipengaruhi oleh factor
di luar prinsip seperti halnya sosial budaya, kondisi demografis, dan faktor-faktor
lainnya, dengan tetap memenuhi syarat-syarat dari suatu prinsip. Sebagai contoh
yang paling sederhana, salah satu prinsip dalam ajaran Islam yaitu umat Islam
diperintahkan untuk menutup aurat dalam melaksanakan sholat, dimana
masing-masing orang memiliki cara berbeda dalam menutup aurat mereka, ada yang
menggunakan sarung, gamis, bahkan celana panjang, dan tidak ada yang salah dari
ketiganya, dimana pilihan-pilihan tersebut merupakan cabang. Pilihan yang
beragam dalam menutup aurat tersebut tidaklah salah, dan merupakan bagian dari
upaya untuk memenuhi hukum dasarnya dalam hal ini menutup aurat. Sangat jelas bahwa
prinsip merupakan hukum yang sangat dasar, dengan cabang berupa pilihan-pilihan
dalam penunaiannya yang bersifat sangat teknis, kontekstual, dan berkaitan
dengan factor budaya.
Sehingga,
dalam membicarakan pembangunan harus dibedakan antara prinsip dan cabang,
antara esensi dan budaya. Yang menjadi fokus dalam pembangunan adalah cara
pandang kita dalam membedakan hal yang prinsip dan cabang, tentang apa yang
disebut dengan konsevatif dan sustainability (keberlanjutan).
“Bukan
yang sedikit kesalahannya, melainkan yang lebih banyak kebenarannya demi
kemaslahatan dan dapat memperbaiki kesalahan yang ada.”
Seperti
konsekuensi dalam membangun, pada dasarnya tidak ada membangun tanpa merusak
terlebih dahulu. Dalam analogi sederhana, saat kita membangun rumah untuk
kepentingan bersama, kita membutuhkan lahan, membutuhkan logistic seperti kayu
yang mengharuskan kita menebang pohon, membutuhkan material lain yang
kebanyakan berasal dari mineral dan mineral-mineral ini didapatkan dari adanya
pertambangan, dll. Dalam analogi rumah tersebut yang harus menjadi focus untuk
kita hadapi adalah bagaimana caranya rumah itu nantinya ramah, bukan malah menentang
untuk membangun karena takut dan khawatir nantinya tidak ramah. Merupakan
sebuah kemunduran dan kemalasan dalam mengoptimalkan akal dan wewenang yang
telah diberikan oleh Sang Pencipta.
Manusia
diberikan kemampuan yang luar biasa esensial dibandingkan dengan mahluk ciptaan
lain yaitu kemampuan dalam berabstraksi, melakukan formulasi dan mewujudkannya
dalam aksi yang merupakan bagian dari hal prinsip yang disebut sebagai akal.
Selain itu manusia telah diberikan kepercayaan luar biasa sebagai satu-satunya
mahluk yang diberi amanah dari Sang Pencipta (dan menerima) untuk manjadi
khalifah di bumi ini.
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui" [Al-Baqarah
(2): 30]
Seperti
yang telah disampaikan sebelumnya, dalam membangun tentu tidak lepas dari
‘merusak’ terlebih dahulu dan hal tersebut sudah menjadi satu kesatuan dengan
konsep membangun dengan pelakunya adalah kita (manusia). Sudah selayaknya
manusia megolah bumi ini, memanfaatkan sebagaimana mestinya, dengan ukuran akal
yang telah diberikan. Kita diharuskan membangun akan tetapi tetap menjaga,
mengupayakan bagaimana demi kepentingan bersama bisa mengeksplorasi dan
mengelola apa yang telah disediakan di bumi ini dengan pembangunan yang
mengusung konsep berkelanjutan. Dalam artian lain adalah cara kita memenuhi hal
prinsip (menjaga kelestarian alam) dengan hal-hal cabang (rekayasa lingkungan,
dll) dalam melakukan pembangunan, bukan malah menunjukkan ketakutan dan
kekhawatiran berlebihan dengan perilaku konservatif yang kaku yang lebih sering
saya sebut sebagai kemalasan dalam
menggunakan akal dan kemampuan yang ada. Menyia-nyiakan yang ada. Terutama
sebagai seorang insinyur lingkungan, sangat tidak layak.
“Mereka
yang berhasil adalah mereka yang lebih caranya, dan mereka yang menuju
kegagalan adalah mereka yang lebih alasannya.”
Cahyo
Widoko Laksono, 5 Oktober 2017
Teknik
Lingkungan UII- 2014
0 komen: